terima kasih jakarta

Bukan Ernita namanya kalau melewatkan kesempatan yang ia dapatkan. Mahasiswi ITB semester akhir yang sedang stress dengan kelulusannya. Harapan kedua orang tuanya adalah lulus tepat waktu, ia pun begitu. Namun semua yang terjadi, tentu pasti di luar kendali manusia. Ia lebih takut cita- citanya tidak tercapai sebenarnya dari pada tidak lulus tepat waktu. Tapi, rasa ingin foto menggunakan toga bersama teman- teman tidak bisa dipungkiri kalau itu juga ia inginkan. Sangat. Satu- satunya jalan untuk menempuh itu semua adalah melakukan semuanya dengan cara yang terbaik, salah satunya menyelesaikan skripsi dengan mencari tempat magang terlebih dahulu.

Tepat di bulan Agustus, ia memutuskan untuk berangkat ke Jakarta. Diterima magang di salah satu perusahaan yang ada di Jakarta. Bukan keinginannya untuk pergi ke luar kota, tapi terpaksa karena keadaan. Selamat jalan Bandung, aku janji akan pulang kembali. Pasti!.

***

“Jadi, gimana Jakarta?” Oliv menutup laptopnya, membereskan semua perlengkapan yang ada di mejanya, lalu memasukkan ke dalam tasnya. Sudah jam 1 siang, waktunya makan siang.

“Nggak gimana- gimana, sama kaya di Bandung ternyata, macet, berisik, pokoknya rame banget deh,” jawab Ernita.

“Namanya juga ibu kota. Tapi masih takut?”

“Kalau itu masih. Makanya nggak berani keluar malam- malam”

Beruntungnya Ernita kenal Oliv, kenalan barunya di tempat magang. Beda universitas. Satu- satunya teman dekat di tempat magangnya ya hanya Oliv. Dan karena arah rumah Oliv sejalan dengan arah kos Ernita, maka mereka sering pulang bersama. Mereka berjalan keluar menuju warung makan. Lokasinya tidak jauh dari kantor, jalan kaki hanya butuh 5 menit. Warung makan yang sudah jadi langganan mereka. Selain karena murah, tempatnya pun bersih, dan makanannya juga sangat enak dibandingkan warung makan sekitarnya yang lain. Begitulah anak rantau, mendadak menjadi ahli dalam membanding- bandingkan sesuatu.

“Cepet banget ya Er, udah dua bulan setengah di sini.”

“Begitu deh, tapi setidaknya punya banyak pengalaman di sini.”

Ya, dua bulan yang lalu Ernita masih stress memikirkan kuliahnya dan juga skripsinya. Ditambah dia sulit untuk memberanikan diri tinggal sendirian di Ibu Kota. Tapi siapa sangka, hingga hari ini, ia berhasil melaluinya. Meski setiap hari tidak pernah hilang rasa takutnya. Bagaimana tidak, beberapa hari lalu ia melihat sendiri ada seorang ibu- ibu yang diambil tasnya oleh penjahat. Padahal saat itu ramai, di tengah jalan pula. Sakit sekali melihat kejadian itu, tapi ia tidak bisa berbuat apa- apa. Sejak hari itu, ketakutannya berkali- kali lipat dari yang dia rasakan sebelumnya. Kenapa Jakarta sekeras itu? kenapa manusia di Jakarta tidak sedikit lebih manusiawi? Atau begitu kah manusia yang sudah mati rasa? Tidak punya perasaan sedikit pun dengan orang lain, pikirnya saat itu.

Oliv memesan makanan. Tiga puluh menit berlalu, mereka melanjutkan aktivitas kembali di kantor.


Esoknya, kegiatan di kantor cukup padat karena menjelang akhir kegiatan magang, maka anak magang harus membuat laporan magang yang nantinya diberikan kepada dosen di universitas dan juga laporan yang harus diberikan kepada perusahaan terkait project- project yang sudah dikerjakan selama magang. Jadwal pulang pun menjadi mundur lebih lama, biasanya jam  tiga sore sudah selesai, tapi hari itu Ernita harus pulang jam lima sore.

Ernita terpaksa harus pulang sendirian karena Oliv ada urusan lain. Aduh, sore gini pasti macet nih.

Jakarta diguyur hujan sore itu. Tepat di depan kantor, ada metromini yang melintas dan berhenti. Ernita melipat payungnya dan langsung buru- buru masuk karena hujannya cukup deras, dan ternyata di dalam sangat penuh. Ada satu kursi yang kosong di belakang tapi di sana banyak sekali laki- laki. Tidak, Ernita tidak akan duduk di sana. Wajahnya merasa cemas, tapi tidak apa, lebih baik ia berdiri daripada harus pulang malam. Seorang laki- laki berkacamata dan mengenakan hoodie hitam pun berdiri. Akhirnya ada yang turun. Jadi bisa duduk deh.

Tapi justru laki-laki itu bilang, “Duduk aja, biar saya yang berdiri.”

Ernita menoleh dan tidak menggubris, masih kebingungan. Memastikan apakah laki- laki itu berbicara padanya atau bukan. Pikiran negatifnya pun muncul. Ia sudah dua bulan lebih di Jakarta, tentu bukan kali pertama ia melihat berita- berita tidak mengenakan di Ibu Kota itu. Jadi normal saja jika ia merasakan hal yang tidak- tidak. Jangan- jangan ini modus. Awas saja kalau berani macam- macam. Aku langsung teriak pokoknya!

Laki- laki itu seperti tampak kebingungan dan mengamati wajah Ernita yang justru semakin kebingungan. “Duduk aja, biar saya yang berdiri,” katanya sekali lagi.

Ernita menggenggam tasnya erat- erat. Trauma dengan apa yang ia lihat beberapa hari lalu dengan kejadian jahat itu. “Nggak mau duduk?” Laki- laki itu berbicara sedikit lebih dekat.

“Ngomong sama saya?”

“Iya, silakan duduk aja”

Ernita melirik kursi kosong itu, tempat yang tadi diduduki laki- laki itu, lalu melihat kembali wajah asing itu. Laki- laki bertubuh tinggi itu pun mengangguk dan tersenyum, seolah meyakinkan Ernita untuk duduk. Dengan perasaan bersalah dan ragu, Ernita pun duduk pada kursi itu. Laki- laki itu pun berdiri sepanjang perjalanan. Ernita yang melihatnya cuma bisa diam. Tetap waspada Er, bisa aja dia pura- pura baik!

Metro mini berhenti tepat di tujuan. Hujan belum berhenti sepenuhnya, masih rintik- rintik. Ernita mampir dulu ke Coffee Shop, sambil menunggu hujan berhenti, ia bisa menyelesaikan laporan magangnya. Karena kebetulan tempatnya juga tidak terlalu ramai, jadi Ernita pikir ia bisa sedikit lebih fokus untuk melanjutkan laporannya di Coffee Shop itu.  

“Permisi”

Baru saja membuka laptopnya, Ernita mendengar suara asing itu. Sebentar, tapi itu tidak benar- benar asing di telinganya. Seperti, seperti... Seperti sebelumnya pernah mendengar suara itu. Ia pun menoleh penasaran. Ia tidak bisa mengenali suaranya, tapi ia langsung mengenali wajahnya, laki- laki berkaca-mata yang tadi di metromini rupanya!

Ernita segera berdiri, “Kamu ngikutin saya yaa?!”

“Payungnya ketinggalan,” kata laki- laki itu, sambil menyodorkan payung itu.

Ernita  yang melihatnya hanya bisa diam, kedua matanya terbuka lebar- lebar. Ia malu sekali. Ya ampun Errr! Ceroboh banget sihh! Kok bisa payung aja sampai ketinggalan?

Sungguh, perasaan Ernita hari itu semakin tidak enak. Ia pun mengambil payungnya.

“Makasih, maaf sudah salah paham dari tadi”

“Nggak apa-apa”

Sebetulnya Ernita masih takut. Takut kalau di hadapannya ini ternyata beneran orang jahat.

“Bukan asli Jakarta ya?”

“Ii..iya, bukan”

“Gapapa, wajar kok kalau kamu takut”

“Maaf ya sekali lagi..”

“Nggak apa-apa”

Tiba- tiba saja laki- laki itu duduk di kursi depannya. Baiklah, kali ini Ernita berusaha untuk tidak berpikiran negatif lagi.

“Di Jakarta ngapain?” tanya laki- laki itu.

“Magang,” jawab Ernita.

“Kamu sendirian di Jakarta?”


Ernita mengangguk.

“Pantesan, paham kok rasanya ngerantau di Ibu Kota kaya apa. Memang harus hati- hati bener di Jakarta. Tapi nggak semua orang itu jahat kok di sini. Pasti kamu ngiranya saya penjahat ya tadi?” laki- laki itu tertawa. Astaga, bahkan dia tahu apa yang ada di pikiran Ernita.

“Bukan begitu, aku takut aja karena beberapa hari yang lalu sempet liat ibu-ibu diambil tasnya”

Laki- laki itu tersenyum dan mengangguk paham.

“Dari universitas apa?”

“ITB”

“Wahh...”

“Kenapa?”

“Nggak apa- apa...”

“Kamu sendiri masih mahasiswa? Atau sudah lulus? Atau sudah bekerja?” Sekarang giliran Ernita yang bertanya.

“Saya lagi nyusun skripsi”

“Loh, sama dong”

“Oh ya?”

“Iya, magangku ini untuk nyusun skripsi. Ya begitu deh, jurusanku itu skripsinya harus based on data perusahaan soalnya. Jadi mau ga mau, aku harus ambil kesempatan magang ini. Demi ayah ibu yang mau lihat aku lulus tepat waktu.”

“Semangat” Ia tersenyum. “kamu bisa jadi apa pun yang kamu mau, hidup masih terus berlanjut,” lanjut laki- laki itu.

Ernita yang mendengar kalimat itu hanya bisa diam, kaget. Apa kata dia? Semangat? Ya Tuhan, maaf sudah berpikiran buruk sama dia hari ini. Maaf.

“Kamu juga semangat,” balas Ernita sedikit kikuk.

“Pasti.”

Ernita diam. Entah apa yang membuat mereka bisa ada di tempat ini. Bahkan sampai bertemu di metromini itu.

“Magangnya berapa lama?”

“Tiga bulan dan sudah mau selesai.”

“Oh ya? habis itu?”

“Habis itu pulang ke Bandung.”

Laki- laki itu terdiam. Entah kenapa suasana berubah menjadi canggung. Ia mungkin berusaha mencairkan suasana lagi. Ia berdiri dan berkata, “Semangat ya nyusun skripsinya, hati- hati di Jakarta, karena ...”

“Karena apa?”

“Karena saya belum tentu bisa ketemu kamu lagi. Tapi Semesta pasti jaga kamu.” Ia tersenyum. “Saya pamit, sampai jumpa di lain waktu,” lanjutnya.

Ernita terdiam. Mengingat perpisahan yang baru terjadi beberapa jam sebelumnya. Bahwa ternyata manusia selalu dihadapkan dengan ketidakpastian dan nyatanya, tidak semua hal yang terjadi harus tunggu kita siap dulu. Beberapa hal memang terjadi mengejutkan dan biarlah itu terjadi sebagaimana mestinya.

***


Tidak ada yang ia tinggalkan di Ibu Kota itu. Tepat hari Sabtu pagi, ia pulang menuju Bandung, naik bus kota. Ia duduk di pojok dekat kaca, memandang ke arah luar. Melihat orang berjalan ke sana ke mari. Kota yang sibuk, semua berjalan dengan cepat.


Jakarta, maaf sudah berprasangka buruk denganmu. Maaf bila aku begitu takut berpijak di sini, karena aku tidak mengenal banyak tentangmu. Tapi banyak hal yang aku dapatkan di sini. Terima kasih sudah menerimaku dengan baik di sini hingga akhirnya aku bisa pulang ke rumah kembali dan menyelesaikan kelulusanku. Aku tidak tahu kapan aku bisa ke sini lagi, meski Jakarta membuatku pusing dengan ramainya aktivitas, tapi pandanganku tentang kehidupan semakin luas.

Ternyata benar kata Oliv, tidak semua orang di sini jahat. Sebab laki- laki tanpa nama di metromini itu adalah bukti nyata dari apa yang tidak kupercayai sebelumnya. Aku tidak tahu siapa namanya, di mana kampusnya, dan dari jurusan apa. Tapi yang kutahu adalah ia memang orang baik. Kenapa saat itu aku tidak terpikirkan  untuk menanyakan namanya? Atau Semesta memang sengaja menciptakan kebingungan ini agar aku pulang dengan bertanya- tanya? Atau memang, beberapa hal tidak perlu kita ketahui. Aku percaya aku akan baik- baik saja di Bandung nanti, dan semoga dia pun begitu.

Bus kota pun jalan. Siap untuk meninggalkan Ibu Kota.


Dan untuk yang terakhir kalinya, Terima kasih sudah menjadi bagian penting dalam hidupku. Meski aku harus jauh meninggalkan rumah, tapi inilah yang harus kulakukan untuk masa depanku. Terima kasih untuk segala hal, apa pun. Terima kasih untuk tiga bulan yang berhasil membuatku belajar banyak hal. Dan untuk manusia asing itu, biarlah aku beri namanya sebagai “manusia metromini”. Obrolan singkat itu adalah obrolan aneh yang tidak pernah kualami sebelumnya, tapi jika dipikir- pikir, terima kasih sudah mengucapkan kata “semangat” meski saat itu aku penuh curiga, aku jadi lebih yakin bisa menyelesaikan semua ini. Dunia terlalu luas untuk mempertemukan kita yang tidak saling mengenal ini. Tapi tidak apa, biarlah semua berjalan dengan sendirinya. Setidaknya ada sedikit memori yang bisa kubawa di sepanjang perjalanan. Meski singkat, tapi aku tidak akan pernah lupa. Pasti.

Terima kasih Jakarta.

 

Komentar

Postingan Populer