kala itu

andai, andai, andai, andai ...
seribu andai pun nggak akan merubah yang sudah terjadi

"Terus aku harus apa?"
"Kamu ini tipe yang kalo minta saran, terus nggak didenger, terus cerita, minta saran lagi, gitu aja terus alurnya!"

"Iiihh, katanya kamu temanku? bukannya hibur yang lagi sedih, malah marah balik!"
"Aku nggak marah, Sa. Kapan aku bisa marah sama kamu? Bahkan aku melihat kamu sengsara sama perasaanmu sendiri aja aku ikut stress."

Lisa berjalan pergi meninggalkan Pram. "Kamu mau kemana?" teriak Pram.
"Bukan urusanmu!"
Pram berjalan menghampiri Lisa."Kamu hilang, jadi urusanku."
"Tapi aku bukan anak kecil lagi, Pram! Jadi tidak mungkin hilang!"

Pram meraih kedua tangan Lisa, seolah ia tahu bahwa sahabat kecil di hadapannya itu hatinya benar- benar sangat rapuh. Ya. Wajah seseorang tidak bisa menutupi perasaannya. Sementara Lisa tidak menatap Pram sama sekali, pandangannya ke arah bawah. "Ternyata bukan di aku ya, Pram." keluar dengan sangat lemah suara itu. 

"Ternyata yang dia cari bukan aku, atau bahkan memang nggak pernah ada aku dalam hidupnya. Salahku di mana ya, Pram?"

"Kamu nggak salah."

"Benar kata kamu, Pram."

"Benar apanya?"

"Sulit bahagia kalau belum bisa berdamai dengan diri sendiri"

"Kan sudah kubilang, kamu ngeyel."

"Maaf, Pram..."

"Bukan salahmu, Sa."

Lisa menatap Pram. Ia memeluk Pram dengan penuh kesedihan, Pram membalas pelukan sahabatnya itu. 

"Biarkan ia bahagia sebagaimana mestinya, Sa. Biarlah. Kamu tetap menjadi kamu yang kukenal."

"Jika memang tujuannya bukan aku, lalu mengapa harus dipertemukan denganku?"

"Kamu tahu jalan menuju tujuan itu ada banyak, Sa. Nggak cuma satu. Bahkan dalam perjalanan pun kita nggak selalu sendiri. Namun jika dari awal tujuannya berbeda, selama apa pun perjalanan bersama, pada akhirnya akan beda arah juga. Begitu kenyataannya."

Air mata itu keluar membasahi lengan baju Pram.

Komentar

Postingan Populer