Prolog Mei

Aku masih ingat pertemuan kala itu. Di mana berjuta manusia, terselip satu di dalamnya yang tiba- tiba saja memaksa untuk menjadi bagian di dalam cerita yang sedang ku jalani. Apakah semesta tahu? Atau mungkin ia bekerja sama dengan-Nya untuk bisa menyelinap begitu saja? 


Aku ragu akan itu. Karena ia tidak pandai berencana. Ia pun berdiri di antara jejeran rindu dan mengantongi sebuah kenangan yang sudah lama ia pendam. Matahari sedikit redup. Tidak tega melihat sepasang manusia ini yang sedang kasmaran merasa lelah. Di sela obrolan, kau dan aku menunggu senja bergantian. Meski senja terlalu malu untuk mengganggu kita berdua. Itu hanya gurauan!


Senyummu berhasil menggiringku ke dalam lubang zona nyaman. Langit pun memberi sedikit hujan agar kita segera berjalan. Awan tak segan untuk memaksa kita pergi berlawanan. Malam sudah menunggu di luar. Kini giliran bulan yang mengganti terang. 


Hadirmu seolah mempersingkat waktu. Ya, tiba- tiba saja aku sudah menghabiskan waktu berjam-jam di sampingmu. Tapi tak apa, aku senang akan itu. Untuk apa kita menolak takdir yang mampu membuat kita belajar. Belajar bahwa banyak bagian dari hidup yang berada pada kata cukup. Hadirmu cukup menerangi pikiranku yang gelap. Tawa mu cukup menghangatkan hatiku yang beku. Matamu cukup memikat jiwaku yang rapuh. Genggamanmu memeluk diriku yang pelik. Wangimu memaksa aku untuk tetap dalam jangkauanmu. Meski dunia ribut memikirkan miliaran manusia, kau tetap damai di sisiku. 


Hujan pun ingin kita berbahagia. Menikmati kucuran air dari sisi payung yang melindungi kita berdua. Meski hanya setengah bahu yang terlindungi, namun tetap menyenangkan. Bel sudah berbunyi. Entah apapun itu. Yang penting kau bahagia. Hanya itu yang ku ingin. Ya, itu saja. 


Aku benci debu yang sengaja memikatmu. Seolah ingin meninggalkan jejak di sudut wajahmu. Tapi aku tidak jadi marah! Karena hadirnya tak merusak indahnya parasmu. 


Kita pun perlahan terikat. Meski tak ada yang melihat, tapi perasaan sudah sangat dekat. Sebab jika mereka melihat, mereka menyebut kita adalah pasangan. Bukan tidak ingin, kau bilang ucapan itu memilik peluang untuk tidak. Tidak selamanya demikian. Sebab kau khawatir akan peluang ketidakjadian itu. Maka kau lebih suka tenang dalam diam. Diam menyayangi.


Dan kini, aku menjadi titik dari ujung ceritamu. Meski dulu, akulah prolog dari buku yang kau tulis. Kita jauh dari rahasia Semesta. Membuat kita berdarah- darah memahaminya. Yang tak henti- hentinya menciptakan asumsi dan jawaban sendiri. Meski pada akhirnya semua hanya hipotesis.


Dan kita memilih diam dalam pelataran masa lalu. Menikmati ribuan puing yang berputar di kepala. Menghirup angin rindu yang menusuk jantung amat dalam. Melempar senyum dengan derasan air yang mengalir di sudut mata. Memeluk diri. Membiarkannya memohon di bawah cakrawala. Dan kini telah usai. Melambaikan tangan, tenggelam dalam ribuan titik bahagia. 


Senja berlari. Mewarnai sore hari. Udara membeku. Langit sulit menyatu. Biarlah rindu mengalir seperti air di tengah sungai yang begitu deras. Biarlah kenangan terbang sesuka hati seperti elang dengan gagah sayapnya. Biarlah perasaan ini menetap meski tak ada lagi rumahnya. Biarlah senyum ini tetap hidup meski sudah tak ada lagi nyawanya. Biarlah aku mencintaimu tanpa harus mengumumkannya pada dunia. Biarlah aku mengadu pada Semesta karena hanya Dia yang kupunya saat ini dan biarlah aku mendoakanmu dengan tulus. Segenap hati.  Satu hal yang perlu kau tahu, apapun rencana-Nya, aku tetap menyayangimu. Selalu.


Komentar

Postingan Populer