Cinta dan Cita

Sore itu, halte begitu ramai. Bertepatan dengan jam pulang kantor ditambah lagi besok adalah hari weekend. Semua berjalan dengan cepat, ada juga yang berlari karena takut tertinggal kendaraan yang mereka tunggu sejak tadi. Ada pula yang memilih untuk duduk sejenak sambil menatap handphone-nya masing- masing, mungkin mereka ingin memesan ojek online atau menelepon pacarnya untuk minta dijemput. Sementara wanita berusia dua puluh dua tahun itu, menunggu angkutan umum untuk bisa pulang ke rumahnya. Gege, namanya. Sudah hampir sepuluh menit ia belum mendapatkan angkutan umum itu. Namun tiba- tiba, handphone-nya berdering. 

"Halo?"

"Ge, lo di mana?"

"Baru turun dari bus transjakarta, masih nunggu angkutan umum," jawab Gege, sambil buru-buru berjalan ke depan agar ia tidak tertinggal angkutan umum lagi. 

"Ge, besok biar gue aja yang jemput lo, ya."

Biasa, acara reuni sekolah. Kebetulan, besok hari libur. Gege dan teman- teman SMA nya berencana untuk mengadakan reuni. Walau sebenarnya, Gege tidak suka reuni. Tidak, tidak, ia tidak benci dengan teman-temannya. Tapi ia tidak suka bertemu dengan seorang yang pernah ada di bagian hidupnya selama SMA. Meski begitu, besok adalah kali pertama Gege setuju untuk hadir reuni sekolah. 

Angkutan umum yang Gege cari akhirnya muncul juga. Ia segera masuk ke dalam. Sebagai wanita karier yang sibuk, waktunya dihabiskan dengan mereview hasil pekerjaan yang sudah dikerjakan dan memeriksa revisi yang diminta oleh atasan. Sejak SMA, mimpinya ingin menjadi wanita karier. Ia bukan tipe orang yang suka bergantung dengan orang lain, dalam hal apa pun.  Baginya, wanita tidak harus selalu bergantung kepada laki- laki, walau pada akhirnya akan menjalani kehidupan bersama dengan seorang laki- laki. Bagi Gege, berdiri di kaki sendiri dan menjadi wanita mandiri itu penting. Sebab tidak ada yang kekal di dunia ini, maka sudah seharusnya sebagai perempuan bisa menjalankan apa yang seharusnya mereka lakukan dan juga belajar banyak hal. 

Gege mengeluarkan handphone-nya, lalu membuka file dokumen yang tadi siang ia terima dari partner kerjanya. Seseorang paruh baya di sampingnya tiba- tiba berbicara. "Zaman sekarang udah canggih, ya." 

Gege menoleh, ah ternyata orang tua itu berbicara padanya. "Iya, Bu. Betul," jawab Gege.

"Di angkutan umum gini, masih ngurusin pekerjaan, Mba? Memang nggak cape?" Ibu- ibu itu bertanya lagi. 

"Enggak, Bu. Lelah saya, bikin saya bahagia." Gege berusaha menjawab dengan nada tidak terlalu serius dan mencoba untuk tetap ramah.  

"Berarti mba nya mencintai pekerjaannya, ya?"

"Harus dong, Bu. Kalau engga, hidup hanya bosan rasanya dan itu akan membuat kita jauh dari rasa syukur." 

Gege memang adaptif. Karakternya yang mudah bergaul membuat ia bisa berkomunikasi dengan siapa pun. Meski demikian, teman dekatnya bisa diitung dengan jari. 

"Kelihatan sekali kalau mba ini sangat suka bekerja. Saya sangat kagum. Karena di zaman sekarang, tidak banyak anak muda yang ingin bekerja keras, tapi banyak lho yang ingin sukses."

Gege tidak menyukai pujian sebenarnya. Dan itu tidak lebih dari sepenggal kalimat apresiasi yang harus ia terima dengan cukup. Gege tersenyum. Bingung ingin jawab apa, bahkan file yang sudah ia buka tadi jadi nganggur begitu saja. 

"Tapi hidup perlu warna juga, lho mba. Jangan sampai kita kehilangan sesuatu yang sebenarnya penting hanya karena kita menutup diri akan hal itu." 

Gege paham maksud Ibu ini. Ia mengunci handphone-nya karena sepertinya Ibu ini menginginkan obrolan lebih panjang untuk mengisi perjalanan pulang. Gege masih terdiam, memahami apa yang barusan dikatakan oleh Ibu ini. 

Hidup memang pilihan, dan semua bergantung dari tujuan hidup masing- masing seseorang. Gege terfokus dengan satu kata 'kehilangan' . Seketika ingat dengan apa yang hilang dalam dirinya selama beberapa tahun belakangan ini. Ya, ia hilang dari perasaan sebagaimana perasaan normal yang dirasakan oleh anak muda lainnya. Peran pentingnya dalam dunia kerja, menyita banyak waktunya sampai ia tidak memikirkan hal lain yang ia anggap tidak penting, tapi bagi sebagian orang itu hal yang penting. Gege mengejapkan matanya, berpikir. 

"Kadang, hidup memang harus buru- buru. Dulu waktu saya muda, saya juga keras sekali untuk ingin sukses. Dan usaha saya nggak sia- sia begitu saja. Dengan begitu, sekarang saya sudah bisa merasakan pensiun di usia 45 tahun. Padahal dulu saya kira, saya harus bekerja seumur hidup saya, mbak." Ibu itu tersenyum, bercerita seolah sambil mengingat masa lalu. Sementara Gege diam mendengarkan. 

"Tapi kita mengenal dengan adanya pengorbanan. Dulu, saya kehilangan masa muda saya. Tapi saya bersyukur, karena sekarang beberapa teman saya masih sibuk bekerja, sedangkan saya tidak. Makanya, kadang kalau melihat anak muda bekerja dengan keras kaya mba gini, saya antara bangga dan khawatir. Karena terkadang, pasti ada satu hal yang disesali karena kita mengabaikan hal itu. Kalau boleh tahu, mba nya sudah punya pacar toh?" 

"Belum, bu. Saya masih belum ingin."

"Tapi mba pernah suka dengan seseorang?"

Ya Tuhan, kenapa obrolan ini berujung pada pertanyaan itu. Dan mau tidak mau, Gege harus menjawabnya. Gege menjawab dengan kikuk, "Pernah, Bu. Tapi itu dulu, waktu SMA." 

Ibu itu tertawa. "Nggak apa- apa, saya hanya bertanya iseng doang tadi." 

Gege pun tertawa. Kini, ia mendapat pertanyaan sulit lagi. "Kalau mba diberi pilihan, lebih  memilih pekerjaan atau menikmati jalan- jalan dengan pasangan mba?"

"Saya terlalu mencintai pekerjaan saya, Bu. Mmmm, sulit sebenarnya, tapi itu pilihan yang sering ditanya sama teman- teman saya juga, dan sampai hari ini, saya masih belum bisa menjawabnya. Ada banyak mimpi saya yang belum tercapai, Bu. Saya takut hilang fokus kalau terlalu memikirkan percintaan. "

"Itu dia. Memang sulit antara memilih cinta dan cita. Tapi hidup perlu warna, dan izinkan warna itu untuk sedikit menghiasi kegelapan dalam pikiran kita. Terkadang, memang produktif menyenangkan. Tapi kita sebagai manusia, juga butuh kasih dan sayang, bukan begitu mba?" Ibu itu tersenyum ramah dengan sudut mata yang sudah mulai berkeriput. 

"Bang, berhenti di sini ya." Ucap ibu pada sang sopir.

Angkutan umum itu berhenti. Membiarkan Ibu itu turun dengan hati- hati. Ternyata suaminya sudah menunggu untuk menjemputnya selepas turun dari angkutan umum. 

"Duluan, Mba." 

"Hati- hati, Bu.." ucap Gege. 

Angkutan umum itu melaju lagi. Kini Gege membuka lockscreen nya dengan berbagai pemikiran yang terus berputar di kepalanya.



Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer