Bumantara dan Gemintang

 Bumantara dan Gemintang



Sudah tiga tahun kamu pergi tetapi aku masih ingat hal- hal yang kamu suka. Masih hafal dengan nada suaramu, tanpa pernah lupa sedikit pun. Reza, laki- laki pertama yang berhasil membuatku jatuh hati dengan keunikan yang tidak pernah aku temui pada orang lain. Kini cerita perjalanan itu sudah usai sebelum diminta. Dengan menyisakan kerinduan yang semakin hari semakin memaksaku untuk terus menulis halaman selanjutnya.


 Pagi ini terlalu dingin, sebab hujan yang terlalu lama mengguyur rumahku sejak malam. Matahari tidak terlalu semangat untuk pagi ini membuatku tidak bisa berjemur untuk menghangatkan sejenak tubuhku seperti biasanya. "Jangan lupa pakai jaket Lis," kata ibu sambil membuat kue bolu yang rasanya paling enak sedunia menurutku. Siapa yang tidak senang punya ibu yang perhatian. Untuk seorang gadis yang ceroboh sepertiku memang layak untuk selalu diperhatikan dan diingatkan. Supaya tidak salah dalam melakukan sesuatu. Hari ini aku ingin  pergi ke kedai kopi. Libur semester kuliah membuatku bosan jika harus menghabiskan waktu hanya di rumah. 
"Lisa pamit ya Bu," ucapku sambil mengenakan jaket dengan warna hijau tosca, warna kesukaanku. "Jangan terlalu malam pulangnya, jangan lupa selalu minum air putih," kata ibu.


Aku masih terus berpikir sepanjang jalan, apa benar yang aku lakukan? Dengan mengunjungi kedai kopi itu lagi, apa bisa menghilangkan rasa rinduku pada Reza? Tidak. Jawabannya tidak. Dengan aku mengunjungi kedai kopi itu, justru aku akan semakin ingat dia lagi. Tapi aku selalu ingat ucapan dia, "Lisa, kalau kita sudah berangkat dari perjalanan, harus di selesaikan". 




"Ini Pak uangnya"
"Makasih ya Mba"
"Iya sama- sama Pak"



Setelah kurang lebih 15 menit, aku sampai pada tempat itu. Letaknya tidak jauh dari rumahku. Terletak di Jl. Ksatria, Kota Jakarta. Kota penuh keramaian yang selalu menjadi langganan anak muda berkumpul setiap malam minggu. Aku masih berdiri memandang kedai kopi itu. Aku terkejut dengan suasana yang jauh sekali berbeda. Ramai sekali. Tiga tahun tidak ke sini membuatku takjub dengan suasana barunya. Deretan toko- toko baru menemani kedai kopi itu. Bangunan dengan tema vintage  itu memang selalu ramai dikunjungi banyak orang, terlebih lagi untuk hari libur seperti ini. Walau sebenarnya, aku tidak terlalu suka dengan keramaian, tetapi aku rindu sekali dengan tempat ini. Aku beranjak masuk, membuka pintu masuk yang sudah berubah warnanya. Ternyata, suasana dalamnya tidak berubah, hanya model luar nya saja yang diperbarui, itu pun sedikit. Warna ruangannya masih sama, identik dengan warna-warna hangat dan furnitur tua antik yang menghiasi ruangan. Suasana ruangannya selalu membawa rasa nostalgia dan vibe  yang berbeda. Meja kayu yang minimalis mengisi sudut- sudut ruangan, aku memilih untuk duduk pada meja kecil dekat jendela. 



"Mau pesan yang mana?" terdengar suara laki- laki.
Aku menoleh, melihat ke arah terdengarnya suara itu. Laki- laki itu bicara lalu tersenyum dengan ramah. Dia mengenakan apron berbahan kulit, sehingga memiliki kesan vintage. Apron dengan design stylist  membuatnya terlihat sangat fashionable. Dia masih tersenyum. Sepertinya dia barista di kedai ini. 

"Hmm, Flat White aja deh," kataku.
"Satu aja?" tanya barista itu, lalu tersenyum lagi.
"Iya satu aja"
Wajahnya terlihat kebingungan, lalu sambil tertawa kecil, "Perempuan cantik seperti kamu pergi ke kedai kopi sendirian?"
"Emang salah ya?"
"Gak salah kok nona manis, baik akan ku buatkan segera ya kopi untukmu," kata barista itu, lagi- lagi tersenyum. Lalu pergi dari hadapanku.


 Memang seharusnya aku tidak sendiri di sini. Za, harusnya kamu ada di sini. Temani aku. Ada banyak hal yang ingin ku ceritakan. Reza, kamu harus tahu bahwa perjalananku masih butuh kamu. Aku masih ingin kamu ada di sini dengan tiap- tiap paragraf yang aku tulis. Aku seperti bumantara yang kehilangan gemintangnya.


Aku teringat sesuatu. Mengambil notebook dari dalam tasku. Suasana hangat dan nyaman di tempat ini membuatku ingin melanjutkan menulis. Begitulah aku, lebih suka memanfaatkan waktu kosong untuk melakukan hobi dibanding membuang waktu untuk melihat dengan tatapan kosong. Ada satu yang mencuri perhatianku. Konsentrasiku terbagi setelah melihat dua meja kecil kosong di sudut ruangan kedai kopi. Notebook  yang sudah kubuka dibiarkan begitu saja. Sudut ruangan itu membawa aku pada cerita  tentang tiga tahun yang lalu. 



"Kamu suka kopi?"
"Iya, emang kamu engga?"
"Lebih suka cokelat"

Reza senyum melihatku, "Kalau gitu, kamu harus coba kopi di sini," katanya. Lalu memanggil barista dengan melambaikan tangan. Barista itu menghampiri. "Buatkan kopi yang cocok untuk perempuan manis di depanku ini ya," katanya sambil senyum- senyum melihat ke arah ku lalu bergantian ke arah barista. 

"Zaa?!" Aku paling tidak suka jadi pusat perhatian seperti ini. Dia memang menyebalkan, tapi sulit untuk dilupakan.
 
"Oka siap," kata barista itu.
"Za, kamu ini kenapa sih?"
"Kamu harus tahu Lisa, kopi di sini enak semua. Supaya nanti, kalau kamu ingin berkunjung ke sini tanpaku, kamu sudah tahu kopi apa yang harus kamu beli"
"Aku maunya sama kamu"
"Seandainya Lisa," ucap dia begitu lembut. Dia memang beda. Selalu menyebut namaku begitu sempurna. Tidak pernah "Lis" atau "Sa"
"Kedainya cukup bagus, aku suka"
"Suka kedainya, atau orang yang mengajaknya?"
"Hmm, keduanya,"

"Hai nona manis, ini kopi spesial untukmu," lamunanku berhenti ketika barista itu datang kembali dengan membawakan pesanan kopiku. Barista itu sangat ramah, selalu memberi senyuman setelah berbicara. Memang itu yang seharusnya barista lakukan, agar pengunjung di sini nyaman. Baristanya sudah ganti. Dia bukan barista tiga tahun yang lalu. Aku membalasnya dengan senyum ramah, "Terima kasih ya"
Dia melihatku seperti membaca isi kepalaku. 


"Kamu suka menulis ya,?"
"Eh, enggak, aku tidak suka menulis, tidak pernah"
"Nona, kamu lucu ya, beruntung sekali laki- laki itu,"
"Laki- laki?" 
"Iya nona, kekasih hatimu," katanya sambil mengeluarkan senyum untuk kesekian kalinya.


Aku terdiam. Kenapa seorang gadis sepertiku selalu dikira memiliki kekasih. Memang saja, mereka tidak pernah tahu apa yang dirasakan sebenarnya. Terkadang menilai lebih mudah dilakukan daripada memahami. Tapi aku tahu, tidak semua manusia harus mengerti aku. Perasaan yang sulit dimengerti ini, akan sangat membingungkan untuk dipahami bagi orang baru seperti dia, barista. Kalau dia tahu aku kesini justru merindukan sesuatu yang sangat jauh jangkauannya dan sudah tidak ada dalam kehidupanku, mungkin dia akan meminta maaf dengan berlutut di hadapanku. 

"Haloo, cantik? Kenapa diam?" Barista itu membungkukan badannya dan bertanya dengan nada ceria. 


Pertanyaan darinya berhasil membuat suasana semakin pilu. Aku menatap kopi, rasanya pasti menyenangkan kalau ada Reza di sini. Tentu pasti barista itu tidak berani bertanya seperti itu kepadaku. Dari kejauhan, terdengar suara laki- laki begitu kencang, "Heiiii, antrian menungguuu". Aku dan barista di sebelahku menoleh, ternyata yang teriak adalah barista kedai ini juga. Dia meminta barista di sebelahku untuk kembali ke dapur. 
"Senang melihatmu di sini, ingin sekali berbincang denganmu, tapi sepertinya pekerjaanku masih banyak, sampai jumpa ya," kata barista itu sambil mengedipkan sebelah matanya. Dia pergi kembali untuk melanjutkan pekerjaannya. 


Aku menghabiskan kopi. Notebook  yang sudah kubuka tidak menghasilkan satu kata sedikit pun. Terlalu menikmati suasana kedai beserta kopi yang membuatku ingin menyapa dia lagi.

 Daniel, sekarang aku sudah suka kopi. Hari ini aku berkunjung ke kedai kopi favoritmu. Suasananya masih sama, rasa kopinya pun masih sama. Lampu kecil dan vas bunga yang menghiasi isi kedai ini mengingatkanku pada moment tiga tahun yang lalu. 

Aku meninggalkan secarik kertas tanpa nama. Ku letakkan di atas meja. Lalu aku beranjak keluar setelah membayar di kasir.


***



"Reza..."
"Iya?"
"Kalau aku buat buku, kamu baca nggak?"
"Enggak"
"Kenapa? Kok gitu?"
"Aku udah tahu apa isinya"
"Loh?"
"Pasti tentangku," sambil menahan ketawa seolah ingin membuatku malu.
"Yaudah aku ga jadi deh"
"Kok gitu, padahal aku ingin jadi pembeli dan pembaca pertama bukumu"
"Bener ya?"
"Sulit rasanya menolak setiap permintaanmu"
"Padahal tinggal bilang enggak"
"Karena aku terlalu menyayangimu." Kami berjalan memasuki bis kota.


Hari ini aku pergi ke toko buku. Isi kepalaku selalu penuh dengan kenangan- kenangan bersamanya. Hanya buku yang bisa membuatku lebih baik dan tenang. Aku mencari buku Antologi Puisi . Ada satu yang menarik perhatianku. Dengan judul Bumantara dan Gemintang. Ada yang sudah terbuka sehingga aku bisa membacanya di sana. Bukunya sangat bagus, sampulnya sudah menunjukkan indah isi di dalamnya. Bumantara dan gemintang . . . Sepenggal kalimat yang membuatku ingin terus membacanya.


 Cahaya memancarkan indahnya  kesepian. Bulan yang tangguh menjadi arah untuk tetap berirama dalam ruang malam yang sunyi. Dunia hanya perlu tahu bahagia, biarkan pilu membara dan hilang dengan sendirinya. Kita saling menunjukkan siapa yang meninggalkan. Menutupi perasaan sayang dengan berjuta kenangan. Kita seperti bumantara dan gemintang. Saling melengkapi dan menghiasi cerita dalam kisah. Bumantara, yang ditemani oleh gemintang. Sebab mereka adalah satu. Mengisi cakrawala tatkala bulan kesepian


"Masih suka baca puisi?" 
Suaranya terdengar begitu lembut. Tidak asing untuk telingaku. Jantungku berubah semakin cepat berirama. Perasaan yang sudah lama tidak aku rasakan, kini hadir kembali setelah mendengar suaranya. Aku menoleh dengan perasaan ingin pulang. Dia tersenyum melihatku. Senyuman itu, senyuman yang aku rindukan selama ini, hadir di hadapanku. 


"Nanti aja ya sedihnya, sekarang senang- senang dulu," dia menggenggam tanganku dan mengajak keluar dari toko buku. Reza, kamu benar- benar pulang. Tiga tahun kamu membuatku bertanya- tanya, sekarang kamu kembali dengan cara kamu sendiri. Kupikir, cara menyayangiku yang salah. Ternyata, cara bekerja semesta yang rumit.



"Kemarin aku ke kedai," aku menatap matanya begitu dalam. Masih dalam genggamannya.

"Iya, aku tahu. Aku lihat kamu diam- diam kemarin"


TAMAT




 

Komentar

  1. Ceritanya nyebeliiiiin. Bukan ceritanya sih. Tapi cowok. Cowok emang suka sengaja nyebelin. Ditambah dengan rumitnya cara kerja semesta.
    Btw, tau blogku darimana?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer